Dari buku John Maxwell “sometimes you win sometimes you lose learn”, halaman 98, beliau
mengambil juga dari buku Bob Wosczyk yang berjudul tersebut di atas;
disampaikan bahwa ekspresi tersebut mengacu pada opera yang sebentar lagi akan
berakhir bila penyanyi soprano yang biasanya bertubuh sintal gempal mulai
menyanyi.
Maksudnya adalah bahwa kita, eh aku sering menunggu atau
bahkan mengharapkan “pertarungan” segera berakhir. Lho kok si aku malah
mengharapkan segera berakhir? Segera berlalu? Segera berganti permainan?
Betul, bahwa kenyataan, aku sering memilih untuk berjuang
setengah hati aja. Ndak ingin berjuang all out, ndak ingin berjalan dan
bergerak sendiri di depan, di antara rekan-rekan. Mulai dari takut diteriakin
sok semangat, sok memimpin, sok leader, sok macam-macam…..
Malah aku memilih untuk stay low, ndak udah kelihatan, lha
hidup kan perjuangan, dan selama ini sudah cukup babak belur, cukup
compang-camping. Nanti kalo berjuang dengan lebih semangat dari biasanya, malah
mengundang curiga, mengundang gunjingan, dibilang terima suap, dibilang “pasti
ada maunya tuh….” dst dst dst….
Aku milih untuk diam aja deh… titik
Pikiran ini malah mengundang “sandiwara”, what if… gimana
kalo ini, gimana kalo itu, apa pasti ada jalan dan pintu yang terbuka?
Jangan-jangan nanti malah keblusuk ke jurang tak bertepi, ato justru saat
kejungkal terperosok bener-bener ndak ada yang menolong. Lalu kalo ndak ada
yang menolong, gimana dong?
Terus aja, main sandiwara, ndak ada ujungnya, ndak ada
juntrungannya. Malah ndak ngapa-ngapain dan ndak kemana-mana, malah ndak maju,
ndak bergerak, ndak mundur atau malah diam aja…. Takut apa sih?
Bertanya penting, tetapi kebanyakan pertanyaan, justru mbikin
aku ndak bergerak.
Kembali pada buku John Maxwell tersebut, disampaikan bahwa
“aku” ini (seringkali) ndak paham, kalo melakukan quit justru saat “sbentar lagi” mendekati tujuan, goal, dan impian
kita. Nah lho….. Jadi ingat sebuah buku Greg S. Reid yang menulis: "Three feet from Gold". Dan aku justru quit. Bukankah saat seperti ini yang diuji adalah kesabaran,
ketangguhan ku? Patience and resilience.
Masa lalu sebagai patokan, betul sebagai pelajaran, tetapi
bukannya satu-satunya hal yang menentukan keberhasilan ku. Latar belakang adalah pengalaman, tetapi yang
jauh lebih penting adalah latar depan.
Maukahku menyongsong nya, menjemputnya, menyambutnya.
Sekitar 3 minggu lalu, ku bertemu dengan pak Waluya, seorang
tentara aktif. Saat hendak pamit pulang, kusampaikan,”terima kasih pak atas
pertemuan ini, siapa tau kita jodoh ya pak.” Dan dijawab beliau sebagai
berikut,”mas, ada istilah, jodoh itu ditangan Tuhan. Dan kita memang harus
ikhtiar untuk menyambut dan menjemputnya, agar bisa sang jodoh tersebut di
tangan kita dan bersama kita. Kalo ndak ya, si jodoh tersebut tetap di tangan
Tuhan kan?”
Wow bener-bener marem, mantep tuh wejangan. Luar biasa….
Menurutmu?
Sawangan, 19:03, 18Okt2014
tulisan ini aku tulis Oktober 2014, setelah lebih dari setahun ndak pengin nulis...kubaca lagi tulisan ini. Lho kok masih valid, cocok, dan pas untuk diendapkan. Betapa Gusti mengingatkan ku... Puji Tuhan, Alhamdulilah masih diingatkanNya.....
ReplyDelete