Seberapa penting sih perasaan. Senang, sedih, bahagia,
murung, fine, bête, tau ah….
Tiga minggu lalu, dengan dibantu sepupuku dari timur nun di
sana, sedang mampir ke kotaku untuk membantuku beberapa tugas.
Sejak ku undang, dua hari sebelumnya, mood dan perasaan ku
sudah seperti orang pacaran mau ketemuan. Senyam-senyumku di buatnya. Ser-seran,
kata orang yang lagi kasmaran. In the
mood, kata seniman yang sedang dalam “high” menuangkan maha karya seni yang
luar biasa.
Lha aku ini apa, wong karya aja ndak keliatan, nulis ndak
aturan, bisa mbongkar ndak bisa pasang lagi, kalo ngomong isinya nyinyir,
banyak yang kesinggung, ndengerin lagu aja seleranya ndak jelas, menganalisa,
justru tertarik hanya pada fokus tiap orang pasti ada titik jahatnya (dark side)… wah parah deh.
Terserah…
Pada hari yang ditunggu, dengan ditemani kedua putra
kebanggaanku, kita jemput sepupuku itu di stasiun. Wah makin gondrong, makin
edan, makin meledak-ledak…. Cocok deh
Berjalan lewat dua minggu dia di kotaku, tugas yang
dibantunya bukan saja selesai dengan sukses, luar biasa, tetapi justru
buanyaaak sekali pelajaran hidup yang kelihatan dan yang ndak keliatan yang
keluar dari cerita, sikap dan tindakannya.
Sebagian besar waktunya kalo cerita, selalu diisi dengan
lelucon, mentertawakan hidup ini. Katanya Gusti senang becanda dengan kita. Justru
dengan kegetiran dan kebahagiaan yang berdampingan dan seringkali kita justru
tidak dapat memberi label apakah itu getir atau happiness, sebab batasnya
sangat tipis, bahkan kadang paketnya justru ada keduanya.
Nah lho…..
Seringkali perkataan selalu diiringi celetukan,”mosok kowe
ndak bersyukur Dik, dengan semua yang kowe terima, alami dan yang akan datang.”
Waduh….
Jakarta, 17:18; 24Jan2016
No comments:
Post a Comment