Dalam diskusi kemarin siang dengan sobatku, ternyata ada
yang sampai hari ini masih tergiang di benakku. Bahkan dalam mimpi malam tadi
sempat masuk dalam bawah sadarku dan terus menggangguku.
Cermin. Itulah kata-kata yang tadi pagi begitu bangun
langsung ku temukan. Ya, cermin adalah
suatu metafora sederhana kurasakan cukup mewakili gambaran ini.
Betapa ternyata bincang dengan sobatku tersebut langsung
kutemui bahwa rasa, sikap, tindakan, pemikiran ataupun pandangan dan komentar
serta sanggahan yang disampaikan adalah cermin dari yang juga selama ini
kulakukan, kutemui serta kurasakan sendiri.
Yang membedakan adalah waktu dan kadar saja.
Jelas dong, lha wong jalanan yang sama saja, setiap hari
dilalui oleh angin, debu serta kendaraan yang berbeda-beda. Lho kok beda? Kan tiap hari jalan itu kulalui?
Mosok ndak memperhatikan, bahwa sekitar kita ini juga sudah berbeda kondisinya
dalam setiap sepersekian detik. Walau jam dan waktunya serta tempatnya sama
persis.
Monggo bicarakan makro vs mikro. Jangka panjang vs jangka
pendek. Dst dst dst…
Kembali pada perbincangan di atas, cermin itu adalah media
atau apapun yang menjadikan satu hal reminder yang lain.
Jadi kalo ada saat kita temui, kok ada sih orang marah-marah
pada orang lain, sementara dia antri untuk masuk jalan sempit. Melihat orang
lain pake sepeda motor (dan kitapun berkendaraan, baik pake motor maupun mobil
atau sepeda), dan sudah mengantri, ternyata orang lain main seenaknya nyelonong
ndak ngantri.
Jadi yang terlihat adalah langsung tindakannya. Hasilnya membuat dongkol kita atau siapapun
yang melihatnya.
Eh…ditambah, ternyata ada lho yang memberikan jalan pada dia
(yang nyelonong tadi). Makin dongkollah kita.
Maka secara ndak sadar, kita sudah memaki (baik dalam hati maupun
langsung buka mulut…), langsung pencet klakson, langsung ikut nyelonong dst dst
dst….
Apalagi di bulan puasa ini, bagi kita yang ikut puasa, kan
sebenarnya sudah membatalkan ibadah kita sendiri….
Kembali lagi pada tema kita, cermin…. Kenapa sih kita
langsung marah, apa kita sebenarnya kita marah karena hal tersebut tidak kita
lakukan? Atau sebenarnya kita juga mau (ndak tertib dan ndak ikut aturan
tersebut), terserah orang lain. This is my
life….
Atau kita mempertanyakan, lha katanya saja konsensus, mesti
antri kalo mau lancar, lha kok masih ada yang nyelonong. Atau kita berpikiran lain, misalnya hal yang lebih
besar, ternyata di jalan ya hanya berlaku bagi orang yang sadar dan sabar
saja.
Aku belajar dari sobatku yang lain, ternyata contoh
nyelonong, nyalib di tikungan yang membahayakan orang lain dst dst, adalah ya
ndak apa-apa. Lho kok begitu? Katanya,
kan sebenarnya orang lain mau sak enaknya sendiri itu urusan dia. Bukan urusan
kita. Bener juga sih. Lha nanti kalo ada yang celaka gimana? Lha kan itu kalo ada
yang celaka, kan faktanya ndak ada. Ya sudah. Titik.
Sebentar-sebentar… lho kok enteng banget nih…
Dia jawab, lha bukannya hidup ini memang enteng aja. Kan
kamu sendiri aja yang mbayangin lain-lain. Nanti bahaya lah, nanti celaka lah,
dst dst dst. Risiko kan ditanggung sendiri. Dan mustinya menyesal itu ndak relevan. Cuma orang yang mau belajar ke dalam (diri)lah yang melakukannya. Mengendapkan.
Betul juga sih….
Kembali ke tema cermin di atas. Ternyata hidupku, hidupmu,
hidup kita, ya urusan sendiri, sendiri. Tanggung jawab, kewenangan, dipilih
orang, disukai orang, dibenci orang, dinilai baik atau buruk, dianggap sampah
oleh segelintir orang atau bahkan dicap jahat, sebagaimana yang dilakukan
tentara Israel. Lha itu kan hidup mereka. Pilihan mereka. Mosok kita mau
menyeragamkan semua orang, menyeragamkan kebutuhan dan pandangan serta
keyakinan orang.
Bukankah semua keberagaman, ketidaksempurnaan, yang membuat indah dunia ini.
Bukankah aturan, regulasi hukum dan budaya adalah bentuk
konsensus kesepakatan kita si-aku yang bersedia
(diartikan: memilih) hidup bersama
dengan masyarakat, kelompok penduduk, sesama umat.
Coba bayangkan, ibarat sepak
bola, ndak diatur jumlah orang yang boleh main, posisi gawang, jumlah bola yang
digunakan, ada yang boleh menendang, tapi karena pilihannya ada yang milih pake
tangan, ada yang pake sepatu ada yang nyeker, dst dst dst. Apa ndak bubar itu permainan?
Apa masih enak tontonan World Cup tersebut?
Monggo……
Jakarta, 11:45; 17Jul2014
No comments:
Post a Comment