Dari tulisan Romo Sudrijanta
tentang Libertas Cordis tertanggal 20 Agustus 2014. http://meditativestate.wordpress.com/2014/08/20/libertas-cordis/
…..Kearifan dalam memahami
sifat batin yang terkondisi hanya mungkin muncul apabila terdapat kebebasan
sepenuhnya. Kebebasan haruslah menjadi langkah pertama dalam melihat,
mengamati, menyadari, memahami, atau mengeksplorasi. Mengamati dalam kebebasan,
itulah langkah pertama, sekaligus langkah terakhir.
Kebebasan bukan berarti “bebas dari”, bukan “bebas dari emosi yang tidak stabil”, bukan
“bebas dari pikiran dan nalar yang kacau”, bukan “bebas dari rasa salah dan
kecewa”, bukan “bebas dari rasa jenuh, bosan, rasa lumpuh.” “Bebas dari” adalah
sebentuk kebebasan yang terkondisi, kebebasan yang terbatas, sebagai reaksi
dari kondisi-kondisi.
Melihat tulisan dari Romo
Sudrijanta, tentang “bebas dari”, langsung terngiang dalam benak saya bahwa
setiap mahluk akan pertama kali menemui hal ini, dan ingin mencapai jenis bebas
ini. Yakni, “bebas dari”. Hal ini
terjadi karena pada tahapan ini, sang mahluk merasa dirinya pemula, bagi
kondisi tersebut, sehingga hidupnya sangat tergantung hal lain, orang lain,
pihak lain, kondisi eksternal dengan sangat dahsyat. Ibarat kita pertama kali masuk sekolah, dan
bingung karena semua serba baru, atau kita baru pindah tempat kerja, atau baru
pindah rumah ke lokasi baru.
Serba baru tersebut membuat kita
perlu dan penting untuk “bebas dari” karena kita merasa
sangat dependent.
Dengan berjalannya pendidikan yang
kita sambut, terima dan pelajari, lalu kita menjadi terbebas dari tahap awal
dengan melepaskan diri dari dependent menjadi independent. Maka kita lanjutkan cuplikan dari tulisan
Romo di atas…..
Kebebasan sepenuhnya juga bukan “bebas untuk”, bukan bebas untuk melakukan apa saja yang Anda
inginkan atau bebas berkeinginan. Kalau Anda suka, Anda bebas untuk menyenangi
apa yang Anda suka; kalau Anda tidak suka, Anda bebas untuk menolak atau
membuang apa yang Anda tidak suka. Kebebasan seperti itu gampang mengarah pada
penyimpangan-penyimpangan.
Banyak sekali orang diiming-iming
dan tergoda untuk masuk dalam tahapan ini, karena merasa yang dipenuhi adalah
“rintangan” yang kemarin, yakni bebas dari….
Jenis bebas dari ini lebih
dikonotasikan oleh rasa yakin diri
berada sebagai objek, sebagai korban, atau sebagai victim, pelengkap penderita.
Sehingga hidupnya tergantung hal eksternal.
Kesuksesan, kebahagiaan, kesenangan, mood, juga sedih, benci, atau
bingung, disorientasi, tergantung hal eksternal.
Mereka ini percaya bahwa menjadi
dependent karena pihak lain, dan untuk membalikkan keadaan adalah dengan
mencapai kesuksesan, kebahagiaan, kenyamanan, adalah dengan cara meraih materi,
hadiah uang, menang loterei; menjadi direktur, menjadi pejabat, menjadi
penguasa dan menjadi apapun yang membuat orang/pihak atau apapun lalu, dirinya
sengsara, terpojok dan kesulitan. Ada
unsur balas dendam….
Mereka merasa mandiri untuk (membalas) pihak, orang/hal ekternal yang sebelumnya
membuat dirinya menderita dan tidak bahagia. Karena percaya bahwa bahagia sumbernya juga eksternal.
Jadi tahap “kemandirian” dan
merasa diri “bebas untuk” justru lebih berbahaya dan lebih ganas. Karena pada
tahapan ini, ibarat anak TK pegang pisau dapur (yang gunanya untuk memasak),
justru untuk menakut-nakuti orang lain, seperti ibunya, orang tuanya, gurunya,
atau bahkan minta priviledge untuk memperoleh kemudahan, misalnya mengancam
penjual es dungdung, untuk dapat membeli dengan gratis.
Pada tahapan ini, keyakinan diri “bebas
untuk”, menimbulkan feeling independent. Nah kalo
independent diartikan sebagai bebas, sebagaimana kemerdekaan dari penjajah, dan
ada ilustrasi sebagai berikut:
Seorang
penumpang saat tahun 1946, naik kendaraan umum, dan ditagih bayaran karcis oleh
kenek, justru menjawab:”lha wong sudah merdeka, kok disuruh membayar? Kalo masih
membayar kan berarti seperti jaman Belanda kemarin?”
Kesewenang-wenangan akan timbul, bila
penguasa, pemimpin, pejabat, petugas pemerintah serta direktur atau para pengurus
pelaksana, justru melakukan tindakan abuse. Apalagi kalo ditambahi
rasa mumpung, mumpung masih menjabat, mumpung masih punya fasilitas, mumpung dianggap
oleh masyarakat dst dst…waduh bakal gawat tuh…
Nah oleh karenanya, akan semakin menarik
sajian tulisan Romo di atas dilanjutkan dengan jenis kebebasan yang bertanggung
jawab yakni kebebasan sepenuhnya, dan saling menghargai sehingga setiap pihak, setiap
mahluk berpikir, berperilaku, bersikap dan bertindak karena memang tidak tergantung
dari hal eksternal, melainkan karena justru roso yang sudah penuh berkat dari Gusti
Allah, dan penghargaan atas Nya.
Jadi, dalam kebebasan
sepenuhnya, tidak terdapat keterkondisian dan tidak terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Dalam kebebasan sepenuhnya, tidak terdapat motif
untuk melenyapkan kotoran batin, untuk menyalahkan, untuk menilai atau untuk
mengubah. Batin sepenuhnya diam, waspada, peka, stabil, tidak terguncang, tidak
terusik. Batin seperti ini mampu bertindak secara benar dan tepat sasaran,
tanpa penyimpangan-penyimpangan. Itu adalah gambaran batin yang sepenuhnya
bebas, jiwa yang sepenuhnya bebas.
Maka
jiwa dan batin ini akan menimbulkan mahluk yang interdependent. Saling menghargai,
respect, saling bantu, juga saling dukung. Karena memang demikian adanya. Bukan karena butuh, karena ingin sesuatu. Bebas sepenuhnya yang interdependent.
Monggo….
Jakarta,
29Aug2014; 13:30
No comments:
Post a Comment